Kamis, 08 September 2011

CATATAN KAKI SEORANG PEJALAN KAKI Refleksi Singkat Perjalanan dari Mertoyudan ke Candi Ganjuran


Transformasi Makna Peziarahan
Di awal semester II ini, sebagian warga MU sedang dijangkiti gila ziarah. Ya…, sebuah upaya yang dilakukan untuk menyadari Tuhan berkarya di dalam kehidupan kita ini ini. Untuk menghayatinya, kami bahkan melakukan hal yang cukup ekstrem yakni dengan berjalan kaki ke tempat-tempat ziarah. Bahasa kerennya mah perigrinasi. Ya… semua itu kami lakukan untuk mencoba menghayati makna ziarah.
Terus terang, selama di seminari ini, saya mengalami sebuah transformasi mengenai pemaknaan ziarah. Dulu, saya lebih menganggap ziarah sebagai sebuah perjalanan jalan-jalan dengan embel-embel rohaninya. Ya…, namanya juga embel-embel maka sisi rohaninya hanya terasa sebagai tempelan saja. Ziarah terasa tidak lebih dari sekedar rekreasi. Ya… bolehlah ikut sekedar rosario atau jalan salib bersama rombongan. Tapi catat…., bukan itu yang saya inginkan sebetulnya karena semua itu terasa membosankan dan terus terang sangat monoton. Maka, begitu selesai berbagai ritual keagamaan yang aneh-aneh itu, rasanya diriku terlepas dari belenggu yang menyiksa. Paling enggak, hal yang wajib dilakukan selain sekedar jalan-jalan dan melihat panorama adalah belanja. Ya…tidak perlu yang mahal-mahal cukuplah yang murah meriah saja namun bisa mewakili bahwa saya setidaknya pernah berziarah di tempat itu. Ya… dulu hidupku terasa dangkal tanpa makna.
Namun, sejak saya berada di seminari, semua paradigmaku tentang ziarah berubah 180 derajat. Mungkin, proses formatio di seminari ini memaksaku untuk melihat sesuatu secara lebih dalam. Ziarah saya maknai sebagai miniatur dari kehidupan. Ya…kehidupan yang selalu mengarah kepada sumber kehidupan yakni Tuhan sendiri. Kita diajak untuk peka melihat tanda-tanda dari Tuhan di dalam kehidupan kita yang selama ini agak tersamarkan karena berbagai kesibukan dan hingar bingar kehidupan.

It’s Show Time
Tentunya, saya tidak tinggal diam melihat fenomena yang seperti ini. Maka, saya memutuskan untuk ikut dan larut di dalam eforia yang ada di medan ini. Awalnya…, saya sudah berencana ikut di dalam koloninya Ticus dkk. Namun, di kemudian hari rencana itu saya batalkan karena saya di ajak oleh koloni yang lebih bisa memrepresentasikan diriku. Ya koloni ini adalah klan awamis. Sebuah koloni yang bisa disebut sebagai kelompok anomali di tempat pendidikan calon imam. Koloni ini terdiri dari saya sendiri, Tama, Pradana, Arista, Aven, Kintel, Ampli, dan Binar. Saya rasa di dalam koloni ini saya merasa lebih “in” sebab merasa memiliki kesamaan nasib dan sepenanggungan. Selain itu, saya ingin membuktikan bahwa hidup rohani calon awam sekalipun tidak kalah dengan para calon imam. Memang ada kesan persaingan dalam hal ini namun menurutku ini justru adalah hal yang baik yang membawa kebaikan juga.
Kami memutuskan untuk pergi ke Ganjuran. Mungkin, ini adalah adalah jarak terjauh yang pernah saya lakukan selama saya hidup dengan berjalan kaki. Saya membayangkan perjalanan ini seperti perjalanan seorang abdi dalem ke kraton untuk meminta sowan ke Sang Ratu yakni Yesus Kristus sendiri.
Sehari sebelum berangkat, kami semua diajak Romo Nano SJ, pamong kami untuk membuat mind set dalam perjalanan ini, paling enggak biar tujuan kami dalam perjalanan ini bisa semakin jelas. Mindset yang saya tuliskan antara lain ingin menambah motivasi hidupku yang terasa akhir-akhir ini redup padahal beberapa bulan ke depan saya akan menghadapi UAN dkk dan bersiap hidup “mandiri” selepas dari seminari. Selain itu, saya merasakan mendapatkan pengalaman rohani bagaimana sepenuhnya Tuhan berkarya dalam hidup ini. Dengan mindset seperti ini saya merasakan adanya roh yang membimbing saya sepanjang perjalanan. Ya… roh itu memacu semangatku.
Sebelum berangkat, sebetulnya, hatiku sedang gundah. Bagaimana tidak…? Masak tiba-tiba saldo keuanganku jadi berwarna merah minus Rp.800.000,00. Maka, sebelum berangkat saya agak uring-uringan karena hal ini. Tapi untunglah pangkal masalahnya sudah terpecahkan sehingga tidak menjadi beban lagi sebelum perjalanan.
Segala amunisi dan persediaan logistik selama perjalanan sudah siapkan. Kelihatannya, dari segi persiapan, diriku terasa lebih “wah” daripada yang lain meskipun hal itu membuat penampilanku agak culun karena memakai kaos kaki panjang yang sama sekali tidak serasi dengan celana pendekku yang saya pinjam dari Ari. Tapi hal itu bukanlah masalah bagiku karena saya rasa kenyamanan selama perjalanan lebih penting daripada sekedar penampilan.

Let’s Go, Babe…!
Dengan semangat 1945, kami memulai langkah pertama kami dengan semangat apalagi dengan diberi sedikit wejangan dan doa dari Fr. Agus. Namun, langkah itu tidak bertahan lama. Baru di depan kantor polisi Mertoyudan, langkah kami harus berhenti. Bukan karena kelelahan atau hujan tapi karena Ampli terpaksa kembali untuk mengambil dompetnya yang tertinggal di seminari. Untung ada Tama yang siap sedia membawa permen sehingga waktu untuk menunggu Ampli tidak terasa membosankan.
Perjalanan dilanjutkan. Langkah kami sama sekali tidak terhenti selama lebih dari 4 jam karena kami masih terbakar oleh semangat. Hujan yang menghadang, diselingi panas terik matahari yang terasa menyengat dan dilanjutkan lagi dengan hujan deras sampai malam tidak menyurutkan niat kami. Aneh memang, cuaca bisa berubah secara ekstrem tapi kami rasa justru inilah bumbu yang memperkaya perjalananan kami.
Rasanya kaki ini lama-kelamaan makin terbiasa dengan melangkah sehingga bisa melenggang dengan otomatis tanpa perlu diatur lagi. Rasa lelah atau pun bosan hilang sirna larut di dalam obrolan dan canda tawa. Ya…, meskipun obrolan ini terasa tanpa arah tapi justru itulah kenikmatannya.
Suasana riang memenuhi hati kami, bahkan Arista, Tama, dan Binar bernyanyi-nyanyi dengan gerakan yang agaknya cukup aneh sampai saya sendiripun agak malu melihatnya. Maklum, di jalan beberapa orang yang melihat mereka senyum-senyum sendiri. Saya mengerti apa yang ada di otak mereka, tapi untunglah lama-lama mereka jadi diam karena bosan atau kelelahan. Tapi itulah trik yang cukup ampuh untuk mengalihkan perhatian kami dari rasa capek atau bosan. Di sekitar Muntilan, langkah Aven dan Kintel mulai agak menjauh dari rombongan inti, sebab lecet-lecet mulai menggrogoti kaki meskipun tidak nampak terlalu parah.
Dihalaman toko di antara Muntilan-Salam, kami beristirahat sejenak. Saya dan Ampli mencari semak-semak untuk “memongkar muatan”. Tiba-tiba dihadapan kami berhenti motor dengan helm full face yang menutupi kepalanya. Siapa gerangan? Mungkinkah pemilik toko yang kami pakai untuk beristirahat. Ternyata orang itu adalah “Bebek” Alvian, teman eks seminaris. Seperti biasa, respon kami terhadap orang ini agak tidak terlalu antusias. Rasanya ada selubung yang mungkin adalah paradigma kami yang menghalangi kami bisa bebas bersosialisasi dengan orang itu. Meskipun begitu, kami coba tetap empatik meskipun terkesan agak dipaksakan. Ya…, seharusnya paradigmaku tidak boleh buruk kepada orang-orang tertentu karena hal itu hanya akan membuat diriku semakin terkungkung. Memang, saya sadari sulit mengubah paradigma yang seperti itu tapi itu harus saya lakukan kalau saya mau maju. Toh… semua orang punya sisi baik dan buruk. Saya sudah seharusnya melihat seseorang secara lebih utuh sebagai pribadi karena disitulah kunci dalam berelasi

Celana Dalam Menguji Emosiku
Kadang, bercanda memang diperlukan untuk mencairkan suasana yang tegang Namun kalau berlebihan, tentu ceritanya akan lain. Kebetulan, Ampli menemukan sebuah celana dalam di jalan dan ketika hendak dibuang, Binar mengambilnya dan melemparkannya pada Tama. Awalnya, Tama tidak sadar kalau sebuah celana dalam bersanding di punggungnya. Ketika sadar, ia hendak melempar balik ke Binar. Binar berhasil mengelak. Kebetulan saya berada di belakang Binar sedang asyik-asyiknya mengamati pemandangan. Tiba-tiba, plok…celana dalam yang saya duga milik wanita jika dilihat dari tekstur dan penampangnya bersarang di wajahku. Pasir-pasir yang ada di celana dalam itu berhamburan dan sebagian menempel di wajahku karena keringat memang membasahi seluruh badanku.
Saat itu, berbagai perasaan persatu padu, mulai dari kaget, marah, malu dll yang rasanya sulit didefinisikan. Untunglah diriku bisa mengendalikan emosiku dan kemarahanku tidak diekspresikan mengingat perjalananan kami belum sampai seperempat bagian dari total seluruhnya. Saya tidak mau jika karena kemarahan saya, suasana di dalam rombongan ini jadi kacau dan tidak nyaman lagi. Maka, yang bisa saya lakukan hanyalah tersenyum. Ya… segalanya terkendali meskipun biasanya di dalam kondisi seperti ini saya bisa marah besar apalagi karena lelah bisa saja emosiku memang tidak stabil
Oh iya… ada perasaan yang saya lupakan yakni takut. Sebenarnya, saya curiga pada celana dalam itu, jangan-jangan itu adalah bekas PSK atau orang gila. Bagaimana kalau di dalam celana dalam itu ada virus dkk. Hi…ngeri. Tapi, saya tetap coba berpositif thinking. Jangan sampai pikiran-pikiran semacam itu malah membuatku jadi tidak mood melanjutkan perjalananan. Untung saja saya sudah baca buku The Secret…, jadi ketakutan semacam itu tidak terlalu menggangguku. Ya…dengan berpositif thinking segalanya akan jauh lebih baik.

Jalan Masih Panjang
Akhirnya, kami sampai juga di perbatasan propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Tentunya hal ini adalah momen yang sangat penting bagi kami. Maka, kami melakukan ritual perbatasan dengan gerakan patah-patah yang benar-benar aneh bin konyol sambil berteriak-teriak mengatakan kata Jogja. Terus terang, kami merasa sangat bersukacita telah mencapai Salam sebab menurut masterplan yang telah kami buat, kami akan beristirahat di Tempel yang tidak jauh dari Salam.
Di Tempel kami beristirahat sambil menikmatinya hangatnya mie ayam. Fuih… gila…,mie ayamnya benar-benar maknyus dan terasa pas di tengah hujan yang cukup dingin. Sebuah perpaduan sempurna apalagi jika disantap bersama-sama. Saking nyamannya, sampai-sampai saya jadi malas melanjutkan perjalanan. Namun, hal itu tidak boleh terjadi, kadang saya ditantang untuk keluar dari wilayah nyaman untuk mendapatkan sesuatu yang berharga di dalam hidup
Setelah kami menyantap mie ayam sampai habis dan asam laktat yang menyebabkan kami pegal-pegal sudah terasa hilang di otot otot kami, kami melanjutkan perjalanan. Target perjalanan kami selanjutnya adalah terminal Jombor.
Pada paruh perjalanan kami yang kedua ini, kami rasa kecepatan dalam berjalan semakin lambat karena kami sering beristirahat karena kami mulai merasa lebih cepat lelah dan kadang kram datang secara tiba-tiba tanpa kompromi. Ya…, kami sadar kemampuan fisik kami semakin lemah karena kami telah berjalan cukup jauh dan memang fisik kamipun memiliki keterbatasan sekalipun telah dipaksakan. Perjalanan ini memaksa kami untuk sedikit lebih bertebal muka. Ya…istirahat pun bisa dimana saja bahkan di emper toko sampai-sampai banyak orang yang heran melihat kami. Ketika perbekalan air mulai habis, Arista dan Binar berinisiatif meminta air ke sebuah restoran Padang dan syukur kepada Allah karena misi ini sukses tanpa mengeluarkan uang sekalipun.
Terus terang, secara fisik, saya masih kuat dan untungnya, saya memakai rompi dan kupluk “Slankers” yang bagiku sangat berguna untuk melawan dinginnya malam sehingga bisa melenggang dengan nyaman. Mungkin, karena kupluk ini, ada orang yang sampai mengira rombongan ini adalah rombongan orang yang mau nonton konser di Yogya.
Terminal Jombor yang kami kira jaraknya tidak lebih dari “sepelemparan batu” dari Salam ternyata sangat jauh tak dinyana. Berulangkali kami melihat lampu merah di jalan dan semangat kami makin terpompa karena mengira lampu merah itu adalah Jombor. Namun dugaan kami meleset sampai tiga kali. Ya…kadang memang tidak terlalu baik jika kita terlalu mengharapkan sesuatu ketika harapan itu sirna, rasanya segala perjuangan yang telah kami lakukan adalah sebuah kesia-siaan. Kami mencoba selalu berpositif thinking bahwa semakin kami melangkahkan kaki paling enggak kami semakin dekat dengan tujuan kami. Bagiku, perjalanan ini adalah sebuah sarana untuk belajar bersabar dan bertekun. Toh kami berjalan ini mempunyai sebuah visi yang baik.
Saya jadi kasihan pada Kintel karena kakinya lecet dan hal itu menyebabkan ia berjalan agak lebih lambat dan sering beristirahat. Tiba-tiba saja di dalam diriku muncul inisiatif untuk meminjamkan kaos kaki yang saya kenakan. Ya… meskipun kaos kaki ini sudah penuh dengan keringat dan sedikit bau tapi saya rasa hal ini sedikit banyak dapat menolong Kintel. Rasanya ada perasaan bertanggung jawab terhadap teman satu koloni dan paling enggak di sinilah momen yang pas di mana saya bisa belajar berbagi meskipun hal ini mengandung akibat kaki saya jadi ikut lecet. Kebersamaan semacam ini sepertinya membangkitkan rasa solidaritas di antara kami.
Akhirnya…, kami sampai juga di Jombor dan untuk merayakan hal ini kami kembali bersantap makan. Rencananya kami akan makan mie rebus jawa tapi karena pembelinya begitu membludak jadi target kami beralih ke mie rebus biasa di depan terminal Jombor. Sambil menunggu sajian terhidang kami semua mengobrol kecuali Arista yang asyik menikmati tidur sesaatnya yang begitu pulas.

Yogyakarta Undercover
Awalnya, kami berencana koloni kami akan pecah di Jombor. Saya bersama Tama, Pradana dan Ampli akan pergi ke Ganjuran melalui Kota Yogyakarta sedangkan ,Arista, Aven, Kintel, dan Binar melalui ring road. Namun, rencana itu gagal karena kami mengira di dalam kebersamaan seperti ini kami merasa lebih baik dan nyaman. Meskipun kami nampak tidak setia pada komitmen tapi kami telah mempertimbangkan hal ini dan melihat ada nilai yang lebih tinggi dari sekedar komitmen awal yang kami buat. Bagiku kelompok ini akan lebih solid jika kami tetap bersama.
Ketika memasuki kota Jogja, kami melihat dunia malam secara lebih nyata. Di sana-sini berseliweran “bidadari”. Istilah ini berasal dari seorang sopir yang kami jumpai di Jombor. Ia telah memperingatkan akan banyak “bidadari” namun kami belum menangkap maksud yang sebenarnya. Kami baru mengerti maksudnya setelah kami melihat keadaan yang sebenarnya mulai dari genus “bidadari” asli sampai” bidadari” jadi-jadian meskipun dari segi bodi tidak kalah dengan “bidadari” asli. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kami berjalan tidak berjauhan meskipun strategi ini tidak sepenuhnya sukses karena beberapa kali kami tetap digoda dengan kata “Bronies”[1].
Kebetulan, malam itu adalah malam minggu maka tidaklah salah jika kami menjumpai banyak orang di depan club-club malam di Yogya. Gila…, dingin-dingin seperti ini, banyak cewek masih kuat berpakaian minim. Memang sih…,hal seperti ini cukup memberi penghiburan tersendiri bagi kami sendiri dan sejenak melupakan segala kesusahan kami. Tapi, hal itu tidak membuat konsentrasi kami buyar dalam menjalani perjalanan ini karena kami sadar kami berjalanan kaki seperti ini masih dalam konteks ziarah.
Jalanan kota Yogyakarta yang sepi sedikit demi sedikit menguras energi yang kami miliki. Rasanya, fisik kami sudah sangat kelelahan dan beberapa anggota koloni sudah nampak tidak bisa bertahan lagi. Karena melihat kondisi seperti itu, rasanya kami tidak tega terus melanjutkan perjalanan. Agar anggota koloni yang sedang tidak fit itu mendapatkan perawatan yang baik, maka kami putuskan untuk sementara beristirahat di rumahnya Ampli. Memang sih, kelihatannya kami hanya ingin mendapatkan kenyamanan dalam ziarah ini dan tidak seheroik teman-teman lain yang sudah melakukan perjalanan ke Ganjuran tanpa henti. Tapi, kami menyadari hal ini bukanlah sepenuhnya kehendak kami tetapi memang keadaan yang memaksa. Lagipula, perjalanan Magelang-Yogyakarta sudah cukup banyak memberi kesan yang mendalam bagi kami. Di rumah Ampli, kami beristirahat seadanya. Tidur berjajar layaknya ikan pindang yang akan dijual di pasar. Entah karena badan Arista yang kepanjangan atau kursi tamunya yang kependekan, Arista mesti tidur dalam posisi melipat tapi sungguh, ia nampak sangat menikmatinya. Saya kira posisi itu dilakukan agar badan menjadi lebih hangat.

Semangat Pagi yang Terbakar Matahari… !
Keesokan paginya kira-kira pukul 6.30 kami berangkat lagi untuk melanjutkan perjalanan. Semangat kami tumbuh lagi bersamaan terbitnya matahari pagi. Udara nan segar kami hirup dan energi yang telah kami dapatkan dari Soto yang menjadi teman sarapan kami rasanya cukup untuk memulai kembali sebuah perjalanan. Badan yang kemarin rasanya pegal dan sakit, kini sama sekali tidak kami rasakan.
Layaknya seorang yang hendak pergi ke medan perang, segala hal kami siapkan baik-baik meskipun nampak seadanya. Perjalanan pagi ini sangat menyenangkan. Kami kembali ceria dan bercanda. Obrolan panjang lebar mulai dari ngegosip sampai ngomongin politik dilakukan untuk mengusir rasa bosan. Tidak terasa, kaki kami telah melangkah dan mengantar kami di jalan ring road. Berarti tidak lama lagi kami akan sampai di Kabupaten Bantul. Menurut perkiraan kami, tidak akan lama lagi sekitar 2 jam kami akan sampai di Ganjuran.
Aspal mulai panas dan perjalanan telah kami lakukan telah memakan waktu 2,5 jam namun kok kami tidak sampai-sampai juga ya…. Meskipun begitu kekesalan kami mulai terobati karena tidak lama kemudian kami melihat gerbang kabupaten Bantul. Kembali, ritual perbatasan kami lakukan. Pada masa-masa ini kami masih kompak dan berjalan tidak berjauhan. Kami beristirahat beberapa kali di beberapa titik yakni pasar Bantul, Depan Mesjid Agung Bantul. Pemandangan daerah Bantul nampak sudah baik lagi tidak seperti dua tahun yang lalu ketika daerah ini dilanda gempa bumi. Segalanya sudah berjalan normal. Memang sih, dibeberapa tempat ada satu dua rumah yang masih puing-puing.
Matahari semakin meninggi, niatku untuk berjalan tanpa alas kaki diurungkan karena aspal pun ikut-ikutan menjadi panas. Sekarang, rombongan kami mulai pecah. Saya, Aven dan Kintel berada di rombongan di belakang. Rombongan di depan makin lama makin tidak nampak seiring semakin jauh jarak yang memisahkan kami. Kembali, lecet-lecet mulai muncul di kakiku. Rombongan belakang ini semakin lama semakin jauh dengan rombongan depan karena beberapa kali kami mesti beristirahat. Energiku rasanya pun turut menguap karena panasnya jalanan ini. Ternyata Bantul itu luas juga ya…, dengan mengais-ngais energi yang masih ada di dalam diriku saya coba tetap bertahan berjalan. Terus terang, saya kesal pada rombongan yang ada di depan sebab mereka jalannya cepat sekali dan nampak tidak mempedulikan kami yang sedang sengraran di belakang. Namun, saya coba pendam rasa kesal ini toh bila kekesalan ini diteruskan hanya akan membuang energi dengan sia-sia
Di dekat sebuah perempatan di Pal Bapang, Akhirnya, kami serombongan berkumpul lagi.
Ingin saya curahkan semua kekesalan ini pada mereka namun apa daya mereka pun nampak sangat kelelahan. Saya mengerti mereka berjalan cepat-cepat karena ingin cepat sampai di Ganjuran dan tidak mau terbakar matahari lebih lama.
Kayaknya, rombongan ini melakukan kesalahan dalam membuat strategi. Seharusnya semalam, kami tetap berjalan agar kami sampai di Ganjuran pagi hari. Alih-alih karena keterbatasan fisik kami, kami beristirahat di rumah Ampli sehingga perjalanan kami molor sekitar 7 jam sehingga kami tidak hanya tersiksa karena lelah tetapi juga oleh sengatan matahari. Ya…apa boleh buat semuanya telah terjadi. Satu-satunya jalan adalah menjalani segala sesuatu yang telah kami lakukan.

Semuanya Rusak karena Kesalahpahaman
Meskipun rasa kesal tadi sudah saya pendam tapi ada keinginan untuk mencoba bergantian kini saya akan berjalan di bagian terdepan dan biarlah mereka yang meninggalkan kami berjalan di belakang. Entah karena saya terlalu semangat atau ingin buru-buru sampai agar tidak kepanasan, tanpa kami sadari kami kini malah jauh meninggalkan rombongan yang ada di belakang. Sejenak Saya, Tama, Binar beristirahat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya, rombongan belakang mulai nampak dikejauhan. Saya sebetulnya ingin menunggu mereka yang ada dibelakang karena saya pun tadi mengalami bagaimana penderitaan tertinggal di belakang. Dari kejauhan Ampli melampaikan tangan tapi kami tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Binar menganggap kode yang diberikan Ampli sebagai tanda agar kami terus jalan. Maka saya dan Binar melambaikan tangan sebagai tanda kami akan berjalan lagi. Keadaan panas membuat kami ingin segera sampai. Ingin rasanya cepat-cepat sampai di Ganjuran dan minum karena perbekalan air yang kami miliki telah habis.
Ternyata, kode yang diberikan oleh Ampli itu adalah kode supaya kami berhenti. Kami baru mengetahui dan menyadari bahwa mereka yang ada dibelakang berjalan lambat karena Arista tiba-tiba kakinya kram di jalan Bambanglipuro. Maka, Binar dan Tama pun segera bergegas ke Ganjuran untuk mengambil motor supaya dapat menolong Arista dan rombongannya.
Namun, sia-sialah perjuangan Binar dan Tama karena Arista beserta rombongannya telah sampai di candi. Di candi kelihatannya, rombongan itu sudah kepayahan dan Ampli pun meluapkan kekesalannya terhadap kami, rombongan yang sudah meninggalkan mereka.
Kami semua tiba di Ganjuran Pk 12.30.Sebetulnya, semua ini tidak akan terjadi jika saya dan rombongan yang ada di depan menangkap apa yang dikatakan oleh teman-teman di rombongan belakang. Saya rasa kesalahpahaman seperti ini bisa jadi berakibat fatal namun untunglah hal-hal buruk tidak terjadi atas kami. Seharusnya di dalam rombongan kami selalu bersama agar kami dapat tahu keadaan rekan-rekan kami dan bisa saling menyemangati. Dari diri saya sendiri, saya sadar bahwa saya terlalu egois dan ingin cepat-cepat sampai di Ganjuran. Dari peristiwa ini, saya belajar banyak hal khususnya bagaimana saya seharusnya tidak egois. Memang, keadaan waktu itu begitu sulit. Namun, justru disanalah saya bisa memaknai persahabatan yang sejati. Saya kayaknya bisa menjadi gambaran teman yang tidak baik dan setia karena saya lebih mengutamakan egois dan kepentingan diri saya dibandingkan rasa kebersamaan yang telah kami bina di sepanjang perjalanan ini. Terus terang, di candi, bukanlah kemenangan bagaimana saya bisa menaklukan jalan Magelang-Ganjuran yang sulit tetapi justru sebaliknya yang saya rasakan adalah sebuah kekalahan karena saya tidak mampu mengendalikan diri saya dan menyebabkan teman-temanku yang menjadi sengsara.

Tuhan Menyapaku di Candi
Untunglah suasana kembali mencair di candi, hubungan relasi yang tadinya agak awut-awutan kini baik kembali. Kini, kami bisa bercanda lagi. Selepas melepaskan lelah dengan goler-goleran ala kadarnya di bawah pohon di parkiran paroki, saya memutuskan sejenak untuk bermeditasi. Di candi saya rasakan betapa Tuhan mengajariku banyak hal dalam perjalanan ini. Saya bisa semakin mengenal diriku dan teman-temanku secara lebih dalam. Saya bersyukur karena saya bisa sampai di sini bersama teman-teman dengan baik-baik saja. Sedikit-demi sedikit saya bisa menerima diri saya kembali. Saya sadar bahwa saya ini adalah seorang manusia yang tidak bisa selalu sempurna.
Saya coba resapi bahwa perjalanan ziarah ini bisa dianalogikan dengan sebuah perjalanan hidup yang saya akan lalui di masa yang akan datang. Kehidupan itu adalah sebuah peziarahan panjang dengan Tuhan yang menjadi tujuannya. Hidup itu adalah sebuah proses yang penuh dengan dinamika. Kadang berjalan menyenangkan dan kadang penuh hambatan. Semua itu bergantung bagaimana kita bisa memandang kehidupan. Bagiku, hidup adalah sebuah proses yang dipenuhi dengan tantangan. Semakin kita bisa keluar dari wilayah aman kita dan berani menghadapi tantangan, semakin maju selangkah lebih depan daripada diri kita sebelumnya. Dengan berani menghadapi tantangan, kita diajak untuk semakin bisa mengembangkan diri kita.
Terus terang, saya tidak mengira bahwa kami sudah berjalan kaki selama sekitar 21 jam. Saya yakin, saya bisa melakukan perjalanan ini tentu tidak lepas dari campur tangan Tuhan yang turut berkarya. Saya yakin Tuhan Tuhan selalu mendampingi saya tidak hanya di dalm perjalanan ini saja tetapi juga seluruh perjalanan hidupku. Bagiku, Tuhan adalah Gembala yang Baik. Saya tidak akan pernah kekurangan jika saya berjalan bersama dia. Hidupku dipenuhi dengan kelimpahan rahmat dan bagiku, hal itu haruslah selalu saya sadari. Saya yakin Tuhan selalu membuka jalan di setiap langkah hidupku tak terkecuali di dalam masalah yang sulit sekalipun.
Di depan candi saya memohon kepada Tuhan agar saya senantiasa menyadari segala kebaikannya dan saya pun selalu disadarkan agar selalu bersyukur kepada Tuhan. Saya sadar diriku adalah makhluk yang lemah, Tuhanlah yang selalu menopang aku dan tanpa kekuatan Tuhan, saya bukanlah apa-apa. Satu hal yang pasti adalah di dalam perjalanan ini saya bisa menemukan kembali kekuatanku kembali.
Terus terang, perjalanan ke candi dengan berjalan kaki ini membangkitkan rasa percaya diriku. Saya mampu melakukan hal yang sulit sekalipun. Bagiku, hal ini sangat penting, sebab beberapa bulan ke depan saya akan menghadapi banyak hal yang penting di dalam hidupku yakni ujian dan beberapa hal yang menyertai hidupku selepas saya meninggalkan seminari. Beberapa waktu ini, hidupku selalu dihinggapi perasaan takut karena beberapa bulan ke depan saya akan meninggalkan seminari dan ada perasaan belum siap di dalam diriku untuk menghadapi kehidupan di luar. Jadi, tidak sia-sialah perjalanan ini dan rasanya rasa capek,pegal, dkk sudah terbayar impas bahkan lebih dengan berbagai makna kehidupan yang saya dapatkan dalam ziarah ini.
[1] Istilah yang agak aneh, tapi kami coba mereka-reka maksud yang sebenarnya dan kami mengambil kesimpulan bronies memiliki kepanjangan Brondong manis. Agak geli memang ketika mendengarnya tapi kami tetap berpegang teguh bahwa kami ini adalah sejenis Homo sapiens bukan Zea mays. Meskipun begitu kami akui mereka tidak salah menyebut kami manis karena memang begitu kenyataannya sih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar